RUU BPJS Dalam Ranah Politik
Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) saat ini memasuki tahapan Pembicaraan Tingkat I yang dilakukan dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Khusus (Pansus) RUU BPJS DPR RI bersama dengan para Menteri yang mewakili Presiden. Sesuai dengan surat Presiden No. R.70/Pres/09/2010 yang ditujukan kepada Ketua DPR RI, Presiden tidak tanggung-tanggung menunjuk 5 Menteri untuk mewakilinya.
Menteri tersebut yaitu Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN, Menteri Sosial, Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan HAM. Presiden tampaknya melihat masalah RUU BPJS secara makro dari aspek keuangan, ekonomi, sosial, kelembagaan dan hukum. Sedangkan aspek teknis penyelenggaraan program tampaknya tidak menjadi pertimbangan utama. Karena itu Menteri Kesehatan dan Menteri Tenaga Kerja tidak ditunjuk bersama Menteri lainnya untuk mewakili Presiden.
Pemerintah telah mengajukan 207 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) menanggapi RUU BPJS usul inisiatif DPR. Dari 207 DIM tersebut hanya 7 DIM menyatakan rumusan “tetap”, sehingga sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR langsung disetujui sesuai dengan rumusan. 2 DIM berisi tanggapan bersifat “redaksional” langsung diserahkan kepada Tim Perumus. 20 DIM berisi tanggapan Pemerintah untuk menghapuskan pasal atau ayat dalam RUU, 1 DIM menyatakan bahwa Pemerintah belum dapat menerima rumusan yang diatur dalam RUU. Selebihnya Pemerintah menyatakan ”menunggu hasil pembahasan DIM lain atau konkordan dengan DIM lain.
Ranah Politik
Pembahasan RUU BPJS di DPR sudah memasuki ranah politik. Dalam Raker Pansus RUU BPJS DPR RI bersama Pemerintah terjadi interksi politik yang sangat intens antara fraksi-fraksi yang duduk sebagai Pimpinan dan Anggota Pansus dengan para Menteri yang mewakili Presiden.
Pemerintah dan DPR mengadu konsep dan strategi dalam penyusunan RUU BPJS. Keputusan politik akan diambil setelah proses politik berlangsung melalui rangkaian konflik dan konsensus yang merupakan hakekat dari sistem politik demokratis. Undang-undang sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden memang merupakan produk politik.
Moh. Mahfud MD (2005, 65) mengemukakan, ”Produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.” Pada bagian lain ia mengemukakan, ”karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.”
Dalam sistim politik yang menganut prinsip demokrasi konstitusional, undang-undang sebagai produk politik seharusnya berorientasi kepada aspirasi rakyat dan pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Dalam konteks ini, pembentukan UU BPJS harus dipandang sebagai bagian dari komitmen Negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan untuk memenuhi hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Memperhatikan konfigurasi politik pasca Pemilihan Umum 2009 yang menghasilkan pemerintahan koalisi partai (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Naisional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa) yang terwakili di DPR secara teoritis cukup kuat untuk membangun komitmen bersama dalam membentuk UU BPJS. Koalisi mampu manangkap aspirasi rakyat dan mamiliki komitmen untuk mewujudkan terselenggaranya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai instrumen yang memungkinkan setiap Warga Negara Indonesia hidup sejahtera sesuai dengan martabat kemanusiaan.
UU BPJS dibentuk dalam pencapaian tujuan pembentukan pemerintahan Negara Indonesia, antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan di sini bukan sekedar keadilan prosedural, tetapi lebih pada keadilan substantif yang berdimensi individual dan sosial.
Realitas politik menunjukkan bahwa dalam pembahasan RUU BPJS terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara Pemerintah dan DPR mengenai materi muatan RUU. Meski keduanya menyatakan berpegang teguh kepada amanat UUD Negara RI Tahun 1945 dan konsisten melaksanakan UU SJSN.
Persepsi antara Pemerintah dan DPR dalam pelaksanaan UU SJSN masih berbeda. Pemerintah lebih mempertimbangkan aspek finansial, sedangkan DPR lebih mengedepankan pertimbangan pemenuhan hak warga Negara.
Hal ini tampak jelas dari pendapat Agus Mertowardojo, Menteri Keuangan pada Rapat Kerja Pansus RUU BPJS tanggal 24 November 2010. Menteri Keuangan meminta agar dalam pembentukan RUU BPJS aspek finansial harus dipertimbangkan dengan seksama.
Sedangkan DPR berpendapat bahwa RUU BPJS usul inisiatif DPR bertujuan dua hal sebagimana dikemukakan dalam Naskah Akademik RUU BPJS. Pertama untuk melaksanakan perintah UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 007/PUU-III/2005. Kedua untuk memberikan kepastian hukum penyelenggaraan program jaminan sosial yang berbentuk badan hukum publik wali amanat secara efektif dan efisien guna menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
Pansus RUU BPJS dan Pemerintah telah menyepakati untuk melakukan lobby guna mencari jalan keluar terhadap perbedaan konsep atau yang disebut ”roh” RUU BPJS.
Melalui forum lobby tersebut diharapkan perbedaan konsep diantara Pemerintah dan DPR dapat diselesaikan melalui pemahaman yang benar terhadap jiwa dan semangat UU SJSN sebagai pelaksanaan amanat konstitusi. Atau dalam istilah politik dalam forum lobby tersebut diupayakan agar konflik kepentingan antara pemerintah dengan DPR dapat diubah menjadi konsensus yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan sesuai dengan amanat konstitusi. Proses politik memang merupakan proses dinamis perubahan konflik menjadi konsensus yang sulit diprediksi.
Mengingat “politics is not an exact science” seperti dikatakan oleh Otto von Bismarck, maka berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam forum lobby.
Perbedaan yang seharusnya bisa didekatkan dengan pemahaman dan komitmen yang sama terhadap UU SJSN, justru menjadi semakin lebar dan pemabahasan berlarut. Apalagi jika masing-masing pihak yang berbeda pandangan salah mendiagnosis permasalahan. Akibatnya pemecahan masalahpun keliru. Pada gilirannya pelaksanaan UU SJSN dan pemenuhan hak rakyat atas jaminan sosial semakin jauh dari harapan.
Tentu kita tidak menghendaki Pemerintah dan DPR salah mendiagnosis perbedaan di antara mereka dan salah memberikan terapinya. Karena diburu waktu, kompromi politik dilakukan tetapi mengabaikan prinsip dasar sistim jaminan sosial yang harus dilaksanakan.
Dalam forum politik, melakukan kompromi sah saja, tetapi ketentuan UU SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi mesti dijadikan guiding star dalam pembentukan UU BPJS. Dengan koridor tersebut kompromi politik yang diambil akan tetap sejalan dengan UU SJSN. Sebab menurut Mahkamah Konstitusi, ”sepanjang menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih, UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.”
Kekawatiran bahwa keputusan politik yang diambil pembentuk undang-undang bisa keliru cukup beralasan. Coba simak pendapat seorang komedian tenar Amerika, Groucho Marx. Ia pernah menyatakan, ”Politics is the art of looking for trouble, finding it, misdiagnosing it, and then misplaying the wrong remedies.”
Karena itu, perbedaan konsep antara Pemerintah dan DPR mengenai RUU BPJS perlu dianalisa dengan cermat dan seksama agar akar permasalahan dapat ditemukan dengan benar dan tepat. Apakah perbedaan tersebut memang dilatarbelakangi oleh perbedaan pinsip dasar mengenai pilihan sistem SJSN atau perbedaan persepsi dalam pelaksanaan UU SJSN atau perbedaan dalam menentukan prioritas pengembangan SJSN?
Pemerintah dan DPR diharapkan memiliki pemahaman yang sama mengenai pemenuhan hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial. Demikian pula terhadap kewajiban Negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, sebagaimana secara jelas diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Perbedaan Konsep
Pemerintah dan DPR memang memiliki konsep yang sangat berbeda tentang materi muatan RUU BPJS. Hal ini tampak dari Pokok-Pokok Penjelasan Pemerintah Mengenai DIM atas RUU BPJS yang dibacakan oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM, pada Rapat Kerja Panitia Khusus RUU BPJS 25 Oktober 2010.
Menhukham Patrialis menyatakan antara lain, ”Pemerintah berpendapat bahwa landasan pemikiran DPR yang terhormat sebagaimana tertuang dalam RUU tentang BPJS, masih memerlukan penelaahan dan pengkajian secara seksama.” Lebih lanjut dikemukakan, ”Pemerintah berharap dapat dirumuskan suatu RUU yang substansinya konsisten dan selaras dengan substansi dalam UU SJSN”.
Perbedaan konsep antara Pemerintah dan DPR menurut Ketua Pansus RUU BPJS DPR menyangkut roh atau jiwa RUU.
Terdapat 3 perbedaan konsep antara Pemerintah dengan DPR. Pertama, Pemerintah menghendaki RUU BPJS hanya menetapkan BPJS berdasarkan ketentauan Pasal 52 UU SJSN, sedangkan DPR menghendaki RUU BPJS merupakan RUU pembentukan BPJS sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU SJSN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 31 Agustus 2005. Kedua, Pemerintah menghendaki eksistensi beberapa badan penyelenggara dipertahankan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan paragraf terakhir Penjelasan Umum UU SJSN, sedang DPR mengajukan satu BPJS untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Ketiga, Pemerintah menganggap bahwa bentuk badan hukum BUMN Persero sesuai dengan UU SJSN, sedangkan DPR menyatakn bentuk badan hukum wali amanat yang cocok dengan ketentuan UU SJSN.
Implikasi dari ketiga konsep tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap format dan materi muatan yang diatur dalam RUU. Format dan materi muatan RUU BPJS menurut konsep Pemerintah sangat simple berisi penetapan badan penyelenggara sebagai BPJS menurut UU SJSN dan pendelegasian pengaturan selanjutnya kepada peraturan pelaksanaan.
Format dan materi muatan RUU BPJS menurut konsep DPR lebih komprehensif. Konsep RUU versi DPR berisi pembentukan kelembagaan BPJS yang mencakup status dan kedudukan, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, kepesertaan dan iuran, organ BPJS, pengambilan keputusan, pertanggung jawaban, kekayaan dan belanja operasional, penyelesaian sengketa, dan larangan.
Kelebihan konsep Pemerintah antara lain lebih sederhana dan waktu pembahasan lebih singkat, mendapat dukungan dari badan penyelenggara yang ada, transisi lebih mudah. Namun terdapat kekurangan, yaitu peraturan pelaksanaan yang diperlukan belum tentu segera dibentuk. Dikhawatirkan peraturan pelaksanaan yang lama masih terus dipergunakan walaupun terjadi perubahan undang-undang. Akibatnya tidak akan terjadi pembaruan signifikan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan jaminan sosial nasional.
Selain itu, format dan substandi konsep RUU BPJS versi Pemerintah tidak sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 007/PUU-III/2005. MK menyatakan antara lain, ”Pasal 5 ayat (1) UU SJSN harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN. ”
Kelebihan Konsep DPR antara lain pengaturan komprehensif dan operasional, pembaruan penyelenggaraan jaminan sosial secara mendasar, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 007/PUU-III/2007. Sedangkan kekurangannya adalah pembahasan memerlukan waktu yang lebih lama, menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang sudah merasa nyaman dengan badan penyelenggara yang ada, serta transisi lebih kompleks dan harus diperhitungkan dengan cermat berbagai aspeknya.
Pemerintah dan DPR memang dihadapkan kepada pilihan yang tidak mudah. Tetapi keputusan harus diambil. Diharapkan keduanya memiliki kearifan dalam menentukan pilihan yang berpihak kepada rakyat dan berpijak secara konsisten kepada amanat konstitusi dan undang undang.
BPJSD Tidak Diatur
Meskipun DPR dan Pemerintah berbeda konsep tentang RUU BPJS, tetapi keduanya tidak mengusulkan konsep pengaturan mengenai pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah. Padahal pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi 007/PUU-III/2005 menyediakan pilihan pembentukan BPJS di daerah dengan Peraturan Daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang tidak ingin sekaligus mengatur secara tuntas pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Nasional yang berada di pusat dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah. Padahal sudah sejak tahun 2005 daerah menunggu adanya pengaturan yang jelas mengenai pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah.
Berbagai daerah tanpa menunggu pengaturan dari tingkat nasional telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tingkat Daerah dengan Peraturan Daerah. Tuntutan nyata masyarakat di derah menjadi pendorong Pemerintah Daerah mengambil kebijakan terebut. Apabila dalam RUU BPJS hal tersebut tidak tertampung membuka peluang bagi pihak-pihak yang merasa kepentingan konstitusionalnya dirugikan akan mengajukan pengujian UU BPJS ke Mahkamah Konstitusi.
Pembahasan RUU BPJS tampaknya sulit untuk dapat diselesaikan dalam masa persidangan DPR sekarang. Kecuali jika DPR dapat menerima konsep Pemerintah yang menghendaki UU BPJS menetapkan badan penyelenggara yang ada sebagai BPJS menurut UU SJSN. DPR tentu tidak semudah itu menerima pemikiran Pemerintah karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dengan nomor perkara 007/PUU-III/2005. Ketentuan seperti itu dinyatakan bertentangan dengan UUD dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. DPR tentu tidak ingin 2 kali tersandung pada batu yang sama dalam membentuk UU BPJS.
Waktu yang tersedia dalam masa sidang ini tinggal dua minggu lagi sedangkan materi muatan yang krusial bersifat sangat mendasar dan memerlukan pembahasan yang serius dan mendalam. Ketua Badan Legislasi DPR Ignasius Mulyono menargetkan UU BPJS sebagai salah satu dari 9 RUU yang diharapkan selesai pada Desember 2010 ini. Apakah harapan Ketua Badan Legislasi DPR akan menjadi kenyataan? Mari kita tunggu!
Perlu diingat bahwa menurut ketentuan Pasal 141 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR ”Pembahasan Rancangan Undang-undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 kali masa sidang dan dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, serta dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah sesuai dengan permintaan tertulis dari Pimpinan Panitia Khusus, untuk jangka waktu paling lama 1 kali masa sidang.”
Jika dalam masa sidang ini RUU BPJS tidak berhasil disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, maka Pimpinan Panitia Khusus harus mengajukan permintaan tertulis kepada Badan Musyawarah untuk perpanjangan waktu pembahasan. Perpanjangan diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan RUU bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas Panitia Khusus. Apakah persyaratan tersebut dipenuhi?
Jawabannya ada pada Badan Musyawarah DPR. Karena Badan inilah yang mempunyai kewenangan untuk menentukan.
sumber : https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/